Rabu, 25 Maret 2015

makalah tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi dan mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasauwufakhlaqi, tasauf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafitersebut berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf ada beberapa aliran, seperti tasawuf Akhlaqi, tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi. Adapula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf 'Amali, tasawuf Falsafi dan tasawuf 'Ilmi. Akan tetapi dalam makalah kecil ini hanya akan dibahas secara lebih fokus tentang tasawuf Falsafi saja.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Tasauf Falsafi, Ibn ‘Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tasawuf  Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[1]
Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasranii. Akan tetapi, orisianilitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi islam, yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat islam. Sikap ini dengna sendirinya dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu ingin mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya tetap disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[2]
Masih menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di kategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat yunani serta berbagai aliran seperti Socrates, Plato, Aristoteles, alira Stoa, dan aliran Neo-Platonisme, dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan, mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut Hermenetisme yang karya-karyanya banyak di terjemahkan ke dalam bahasa arab dan filsafat-filsafat timur kuno, baik dari Persia maupun India, serta filsafat-filsafat Islam, seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran batiniah sekte Isma'iliyyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Al-shafa’.[3]
Di antar tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah ibnu arabi, al-jilli, dan ibn sab’in.
1.      Ibn ‘Arabi
a.       Biografi Singkat Ibn’arabi
Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Mercia, Andalusia tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal di sana pada tahun 638 H. Namaya biasa di sebut tanpa Al untuk membedakan dengan abu bakar tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu bakar Ibn Al-‘Arabi seorang qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadis serta fiqih pada sejumlah murid andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Ai-Zhahiri.[4]
b.      Ajaran-ajaran Tasawuf Ibn’Arabi
Ajaran sentral Ibn ‘Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang di pakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik  ajaran sentralnya tersebut. Sedidak-tidaknya, Ibnu Taimiyalah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al Wujud ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian Wahdat Al-wujud.[5]
Menurut ibnu taimiyah Wahdat Al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam menurut penjelasannya, orang yang mempunyai paham Wahdat Al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang di miliki oleh khaliq juga mukmin Al-wujud yang di miliki oleh makhluk, selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada perbedaan.[6]
Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn ‘Arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian khaliq). Padahal kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibn ‘Arabi akan tetapi , perlu pula di dasari bahwa kata-kata Ibn ‘Arabi. Banyak membawa pada pengertian seperti yang di pahami oleh Ibn Taimiyah meskipun ada pula  kata-kata Ibn ‘Arabi yang membedakan antara Khalik dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam. 
Demi syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) tuhan juga. Atau engkau katakan tuhan, lalu siapa yang di bebani talif?” Kalau di antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya, megapa terlihat dua? Ibn ‘Arabi menjawab, sebab adalah manusia tidak memandangnya darisisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi lain. Jika mereka merasa memandang keduanya dari sisi yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduannya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
2.      Al-Jilli
a.       Biografi Singkat Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. Di Jilan (gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-Jilli di ambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir al-jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada syekh syafaruddin Isma’il bin Ibrahim AL-jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[7]
b.      Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna) menurut Al-Jilli insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan, seperti di sebutkan dalam hadis Artinya: Allah menciptakan adam dalam bentuk yang maharahman “ Hadis lain: Artinya “Allah menciptakan adam dalam bentuk dirinya[8]
Tuhan memiliki sifat-sifat, seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi selanjutnya adalah setelah tuhan menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah adam, aniyahnya di sandingkan dengan aniyah adam, dan dzatnya dihadapkan pada zat adam, dan akhirnya adam berhadapan dengan tuhan dalam segala hakikatnya. Melalui konsep ini, dapat dipahami bahwa adam dilihat dari segi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiah.
3.      Ibnu Sab’in
a.       Biografi Singkat Ibn Sab’in
Nama lengkapnya adalah Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhammad bin Nashr, seorang sufi yang jufa filosof dari Andalusia. Dia terkenal di Eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan federik II, penguasa Sicilia. Dia dipanggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin. Terkadang,  dikenal pula dengan Abu Muhammad. dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218M) di kawasan Murcia. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra pada kelompok gurunya. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari madzhab maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat.[9] Dia mengemukakan bahwa di antara guru-gurunya adalah ibn dihaq, yang di kenal dengan ilmu al-mir’ah (meniggal tahun 611 H) yang keduanya ahli tentang huruf dan nama. Menurut salah seorang murid ibn sabi’in, yang mansyarah kitab risalah al-‘abd hubungan antara ibn sabi’in dan gurunya tersebut lebih banyak terjalin lewat kitab dari pada langsung
b.      Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in
Ibn Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud-wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu semata. Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap. [10]
Paham ini lebih di kenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Hal ini karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam satu bentuk. Dalam paham ini, ibn  Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama, wujud allah, menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini dan masa depan.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tasauf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

B.     SARAN
Diharapkan kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan, untuk memotivasi penulis, agar dalam penyelesaian makalah ini bisa memperbaiki diri dari kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.






Daftar Pustaka

Mukhtar Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
At-Taftazani Al-ghanimi Al-wafa’ Abu, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka Bandung, 1985.




[1] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), Hal. 143
[2]  Ibid, hal. 143
[3] Ibid, hal. 144
[4] Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, (Pustaka Bandung, 1985) hal. 187
[5] Rosihon dan Mukhtar, Op, Cit, hal. 145
[6] Rosihon dan Mukhtar, Op, Cit, hal. 146
[7] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit, hal. 153
[8] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit, hal. 154
[9] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit, hal. 159
[10] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit, hal. 160

Selasa, 24 Maret 2015

TUGAS


“Filsafat Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali

Disusun Oleh:
Ihsan Yahya
NIM: 06.121.13

Dosen Pembimbing:
Abdul Basit, M.Ed

PRODI BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KERINCI 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pemikiran klasik, Filsafat merupakan induk segala Ilmu pengetahuan. Darinya segala jenis Ilmu berasal. Konsep ini berasal dari pemikiran Yunani, terutama dari Aristoteles dan kemudian mempengaruhi para pemikir Islam, termasuk pemikiran Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghozali.
Dalam sejarah pemikiran filsafat Islam dunia timur, sosok Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghozali diantara para filosof Muslim, mereka mendapat tempat istimewa hingga abad-abad modern ini.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali?
2.      Apa saja karya dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali?
3.      Bagaimana pemikiran filsafat dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali?
C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui biografi dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali.
2.      Untuk mengetahui apa saja karya-karya filsafat dari dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali.
3.      Untuk mengetahui pemikiran filsafat dari dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Ikhwan Al Shafa
1.      Latar Belakang dan Keanggotaan Ikhwan Al Shafa
Ikhwan Al Shafa adalah nama sekelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah Isma’iliyah, lahir pada abad ke 4 H (10 M) di kota Basrah. Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl Al-Adl, dan Abna’ al-Hamd. Rahasia kelompok ini terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad pada tahun 983 M. Salah satu ajaran Ikwan Al-Shafa adalah paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan), ini disebabkan oleh basis kegiatannya yang berada ditengah masyarakat sunni yang merupakan lawan ideologi, kerahasiaan kelompok ini juga disebabkan oleh dukungan mereka terhadap mu’tazilah yang telah dihapuskan dari madzhab Negara oleh khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (sekte sunni).[1]
Tokoh terkemuka kelompok ini adalah Ahmad Ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid Ibnu Rifa’ah selaku ketua dan Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany.[2]
2.      Karyanya
Pertemuan-pertemuan yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid ibn Rifa’ah (ketua) secara sembunyi-sembunyi telah menghasilkan 52 risalah. Risalah tersebut diklasifikasikan menjadi empat bidang :
a.       14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal dan logika.
b.      17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.
c.       10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam
d.      11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat .
3.      Filsafatnya
a.       Talfiq
Ikhwan Al Shafa berusaha merekonsiliasi filsafat dengan agama yang ada waktu itu seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi dll. Menurut mereka bila dipertemukan antara filsafat yunani dan syari’ah arab, akan menghasilkan formulasi yang sempurna. Menurut mereka tujuan agama sama, mendekatkan diri kepada tuhan. Implikasinya akan melahirkan At-Talfiq (elektik), yang berisi semua pemikiran yang berkembang pada waktu itu. Sementara sumber ajarannya ialah Nuh, Ibrahim, Socrates, Plato, Zoroaster, Isa, Muhammad, dan Ali. Tapi hal ini merupakan keinginan yang tidak pernah terealisasi, karena mustahil menyatukan sifat heterogen manusia secara utuh, kalaupun mungkin, tentu ada pemaksaan, dan tidak bertahan lama.[3]
b.      Metafisika
Pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah, bila angka satu rusak, maka rusaklah semua angka. Angka satu sebelum angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain .
Terlihat pengaruh Neo-Pythagoreanisme yang dipadu filsafat keesaan Plotinus. Kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik Al-Shafa mengambilnya sebagai argumen tentang keesan Allah. Seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah, seperti beradanya seluruh bilangan dalam bilangan satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang satu, meliputi seluruh bilangan.
c.       Emanasi
Ikhwan Al Shafa merupakan perpaduan antara Aristoteles, Plotinus dan Mutakallimin. Tuhan adalah pencipta dan mutlak esa. Rangkaian proses emanasi itu adalah :
-          Akal Pertama atau Akal Aktif
-          Jiwa Universal
-          Materi Pertama
-          Potensi Jiwa Universal
-          Materi Absolut atau Materi Kedua
-          Alam Planet-planet
-          Anasir-anasir alam terendah, yaitu air, udara, tanah dan api
-          Materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuhan dan hewan
             Ke-8 mahiyah di atas bersama dengan zat Allah yang mutlak, sempurnalah jumlah bilangan menjadi 9. Angka 9 ini membentuk substansiorganik pada tubuh manusia, yaitu tulang, sum-sum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut dan kuku.
d.      Matematika
            Ikhwan Al-Shafa dipengaruhi oleh pitagoras yang mengutamakan pembahasan tentang angka. Angka mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan dalil wujud sesuatu, oleh sebab itu ilmu hitung merupakan ilmu paling mulia dibandingkan ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan. Angka satu merupakan dasar segala wujud dan permulaan yang absolute. Huruf hijaiyah yang jumlahnya ada 28 adalah hasil perkalian dari 4 x 7. Angka 7 mengandung nilai kesucian sedangkan angka 4 mempunyai arti empat penjuru angin.
e.       Jiwa
Jiwa memiliki tiga fakultas :
-          Jiwa tumbuhan, dimiliki oleh semua makhluk hidup. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya yaitu makan, tumbuh, dan reproduksi.
-          Jiwa hewan, dimiliki oleh hewan dan manusia. Jiwa ini memiliki dua daya yaitu penggerak dan sensasi.
-          Jiwa manusia, yang menyebabkan manusia berpikir dan berbicara.[4]
f.       Moral
            Ikhwan Al Shafa bersifat rasionalistis, suatu tindakan harus berlangsung bebas. Dalam mencapainya seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan pada materi. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat atau sia-sia, kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih sayang, keadilan rasa syukur, mengutamakan kebijakan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan.

B. Ibnu Sina
1.      Biografi
             Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn Hasan ibn Sina. Dikenal sebagai seorang filosof Islam terbesar bergelar Syaikh ar-Ra’is. Lahir dalam keluarga bermazhab Syi’ah tahun 370 H/ 980 M, di desa Efyanah (Kawasan Bukhara). Di Bukhara, ia dibesarkan dan belajar falsafah, kedokteran, dan ilmu-ilmu agama Islam. Di usia 10 tahun, Ia mempelajari Islam dan menghafal al-Qur’an.
             Ibnu Sina juga mempelajari astronomi, matematika, fisika, metafisika, logika, dan kedokteran. Usia 16 tahun, ia dikenal sebagai dokter ahli berbagai penyakit. Usia 18 tahun, ia menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti falsafah, matematika, logika, astronomi, musik, mistik, bahasa dan hukum Islam. Ia mampu meyembuhkan penyakit yang diderita penguasa Bhukara, Nuh ibn Mansur (387 H/997 M), dan diberi imbalan untuk memanfaatkan perpustakaannya. Usia 20 tahun, ayahnya meninggal, ia pindah ke Jurjan dan bertemu Abu ‘Ubaid al-Juzajani kemudian menjadi muridnya dan menulis sejarah hidupnya, pernah menjadi menteri di Hamazan. Ia meninggal dunia pada hari Jum’at bulan Ramadhan dalam usia 58 tahun, dan dimakamkan di Hamazan.[5]
2.      Karyanya
Karangan Ibnu Sina yang terkenal ialah :
a.       Asy-Syifa. terdiri dari 4 bab, logika, fisika, matematika, dan metafisika.
b.      An-Najat. ringkasan as-Syifa, pernah diterbitkan bersama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
c.       Al-Isyarat wat-Tanbihat. Pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892.
d.      Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskahnya yang masih memuat logika.
e.       Al-Qanun fi al Tibb (buku kedokteran ditulis 14 jilid, ditulis saat usia 16 tahun), atau Canon of Medicine, pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad 17 Masehi .


3.      Filsafatnya
             Merupakan gabungan tradisi Aristotelian, pengaruh Neoplatonism dan teologi Islam.
a.       Al-Tawfiq/ Rekonsiliasi antara Agama dan Filsafat
Ibnu Sina memadukan agama dan filsafat.
            Menurutnya Nabi dan Filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya terletak pada cara memperolehnya, bagi Nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materil yang disebut hads (kekuatan suci), sedangkan Filosof melalui akal mustafad. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh Filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
            Ibnu Sina membedakan antara para Nabi dan para Filosof, Nabi ialah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk jadi Nabi. Sementara Filosof adalah manusia yang mempunyai intelektual tinggi dan tidak bisa jadi Nabi.
b.      Wujud
Dalam filsafat wujudnya, segala yang ada ia bagi pada 3 tingkatan:
-          Wajib Al-Wujud, essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama. Essensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib berwujud selamanya.
-          Mumkin Al-Wujud, essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak. Artinya, jika ia diandaikan tidak ada atau ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak.
-          Mumtani’ Al-Wujud, essensi yang tidak dapat mempunyai wujud.
c.       Emanansi atau pancaran
            Ketika Allah wujud sebagai Akal langsung memikirkan terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarkan Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini memancar Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan Langit Pertama, seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang lemah dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan menghasilkan Jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah.
Akal pertama bersifat wajib wujudnya punya 3 objek pemikiran :
            Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
            Emanasi Ibnu Sina menghasilkan 10 akal dan 9 planet. 9 akal mengurusi 9 planet dan akal ke-10 mengurusi bumi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.
d.      Jiwa
            Jiwa manusia, sebagai jiwa lain dan segala yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian: Tumbuhan, Binatang dan Manusia. Manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka selamanya berada dalam kesenangan, dan jika berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, maka akan hidup dalam penyesalan dan terkutuk selamanya di akhirat.[6]

C. Al Ghozali
1.      Biografi
             Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah (Acuan) Al-Islam lahir di Thus, bagian kota Khusaran, Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya orang yang sederhana sebagai pemintal benang (ghazzal) sehinnga dijuluki al-Ghazzali, karena mata pencaharian ayahnya. Sedangkan Al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata Ghazalah, kampung kelahiran Al-Ghazali. Sebelum wafat, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad kepada ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.
             Tahun 1095 Al Ghazali mengalami krisis pribadi, kemudian keluar dari jabatan guru besar, sebagian menyebutnya Rektor Universitas dan meninggalkan Baghdad, kemudian menjalani hidup Sufi dan merantau ke Damaskus, Kairo, Mekah dan Madinah. Al Ghazali dianggap para sarjana latin seperti AL Farabi dan Ibnu Sina sebagai filosof peri-patetik dan Neo Platonis.[7]
2.      Karyanya
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:
-          Maqashid-Al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf), berisi masalah filsafat.
-          Tahafut Al-Filasafah (Kekacoan Pikiran Para Filsuf), di Bagdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
-          Mi’yar Al-‘Ilm (Kriteria-Kriteria / Standar Keilmuan).
-          Ihya ‘Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Agama-Agama)
-          Al-Munqidz Min Al-Dhalal (Penyelamatan dari Kesehatan)
-          Al-Ma’arif Al-‘Aqliah (Pengatahuan Yang Rasional).
-          Misyakat Al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
-          Minhaj Al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
-          Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (moderasi dalam akidah).
-          Al-Mustadzhir Qisthasul Mustaqim (Nerca Yang Lurus)
3.      Filsafatnya
a.       Epistimologi
            Dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”. Mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal yang dapat yang ditangkap oleh panca indera. Tetapi ternyata baginya panca indera juga berdusta. Misalnya: “bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi berpindah tempat,” atau seperti “bintang-bintang dilangit, kelihatannya kecil tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi”.
            Karena tidak percaya panca indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar atau karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. Seperti yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekuen dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji pengetahuan inderawi, ia menggunakan argumentasi faktual atas kelemahannya. Tetapi, ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja. Ketika itu, ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara faktual.
            Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya.
Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan apriori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham.
            Pengetahuan yang bersifat rabbaniyah (ladunniyah) adalah tingkat tertinggi pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan ibadah, kezuhudan, mujahadah (mendekatkan diri kepada Allah SWT), dan olah batin (riyadhah an-nafs). Lapangan filsafat menurut Al-Ghazali ada enam yaitu: matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika.
            Logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dalil pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian, definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah menjadikan logika sebagai pendahuluan dalam persoalan ketuhanan (metafisika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Al-Ghazali membagi filsuf menjadi tiga golongan :
-          Materialis (dahriyyun)
             Terdiri dari para filsuf awal, seperti Emepodokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM), mereka pencipta dan pengatur dunia, dan yakin bahwa dunia ini telah ada dengan sendirinya sejak dahulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama.
-          Naturalis (thabi’iyyun)
             Terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mengakui eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal kerohanian dan sifat immateriality jiwa manusia mereka menjelaskan perihal jiwa dalam istilah naturalis sebagai suatu epifenomena jasad dan yakin bahwa kematiaan jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.
-          Theis (ilahiyun)
             Tergolong para filsuf lebih modern, meski mereka menyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali berpendapat kaum theis ini masih menyimpan sisa kekafiran dan paham bi’ah. Sebab itu dia menilai mereka maupun para filsuf muslim yang mengikutinya sebagai kaum kafir. Menurut pendapatnya diantara pengikut mereka, Al-Farabi dan Ibn Sina adalah penerus terbaik filsafat Aristoteles ke dalam dunia islam.
b.      Metafisika
            Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam logika dan matematika. Al-Ghazali mengecam dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka.
            Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan islam dan mengabaikan dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida’ sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslim.[8]
Dua puluh persoalan tersebut adalah:
-          Alam qadim (tidak bermula).
-          Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak.
-          Konsep tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya, ungkapan ini bersifat metaforis.
-          Demonstrasi/ pembuktian eksistensi penciptaan alam.
-          Penolakan akan sifat-sifat tuhan.
-          Argumen rasional bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud.
-          Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan.
-          Wujud tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau essensi.
-          Argumen rasional tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
-          Argumen rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
-          Pengetahuan tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara universal.
-          Pembuktian bahwa tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
-          Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
-          Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
-          Tujuan yang menggerakkan langit.
-          Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah).
-          Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
-          Jiwa manusia adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
-          Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangakan kehancurannya.
-          Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
-          Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal.
-          Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di dalam.
-          Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.
            Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali, setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa ia sesungguhnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn Sina dan tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab Al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran ajaran-ajaran agama. Kedua: dalam bukunya Al-Ghazali menilai Al-Farabi dan Ibn Sina serta filsuf yang lainnya telah kufur karena mengajarkan tentang keqodiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan tuhan terhadap hal-hal yang partikular. Ketiga: tentang pembagian filsafat yunani dalam tiga bagian materalisme (Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun), dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul Al-Farabi adalah Aristoteles tapi ia hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani.
c.       Moral
            Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih dari pada kebodohan. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Suatu derat baik atau buruk berbagai amal berbada oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
            Masalah kebahagian, menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan manusia adalah kebahagian ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni :
-          Berkelanjutan tanpa akhir
-          Kegembiraan tanpa dukacita
-          Pengetahuan tanpa kebodohan
-          Kecukupan (ghina), yang tak membutuhkan apa-apa lagi
d.      Jiwa
Manusia diciptakan Allah menurut Al-Ghazali sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.[9]
            Jiwa bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Disamping itu jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan dalam kehidupan manusia.[10]
            Mengenai kekekalan jiwa Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya. Disini Al-Ghazali berada dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan hancurnya jiwa apabiala dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat substanai kekal). Dengan demikin bantahan Al-Ghzali terhadap filsuf dalam bukunya Tahafut al-Falasafah, bukan ditekankan pada kekalnya jiwa, yang dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk memebuktikan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi hidup kekal. Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
            Ikhwan al-Shafa’ (Persaudaraan Suci) adalah nama kelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M) di Basrah. Karyanya berjumlah 52 risalah yang diklasifikasikan dalam empat bidang yaitu : 14 risalah tentang matematika, 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, 10 risalah tentang ilmu jiwa, 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan. Filsafat Ikhwan al-Shafa mencakup : Tawfiq dan At-Talfiq, Metafisika, Emanasi (al-Faidh), Matematika, Jiwa dan moral.
            Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn Hasan ibn Sina. Dilahirkan dalam keluarga bermazhab Syi’ah tahun 370 H/ 980 M, di desa Efyanah (Kawasan Bukhara). Ia meninggal dunia pada hari Jum’at bulan Ramadhan dalam usia 58 tahun, dan dikuburkan di Hamazan. Karangan Ibnu Sina diantaranya ialah: Asy-Syifa, An-Najat, Al-Isyarat wat-Tanbikat dan Al-Qanun. Filsafat Ibnu Sina : Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat, Filsafat Wujud (Wajib Al-Wujud, Mumkin Al-Wujud, Mumtani’ Al-Wujud), Filsafat Emanansi atau pancaran dan Filsafat Jiwa.
            Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhamnmad al-Ghazali. Beliau lahir di Ghazela, Thus (Khurasan) pada tahun 450 H (1059 M) dan wafat di Tabristan, Tus tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (1 Desember 1111 M). Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah: Maqashid-Al-Falasifah, Tahafut Al-Filasafah, Mi’yar Al-‘Ilm, Ihya ‘Ulum Al-Din, Al-Munqidz Min Al-Dhalal, Al-Ma’arif Al-‘Aqliah, Misyakat Al-Anwar, Minhaj Al-‘Abidin, Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad, Al-Mustadzhir Qisthasul Mustaqim. Filsafat al-Ghazali : Epistimologi, Metafisika, Moral dan Jiwa.
B.  Saran
            Alhamdulillah, tiada harapan dan upaya sedikitpun dari kami kecuali makalah ini dapat bermanfa’at bagi segenap pembaca, dan dapat menambah sedikit pengetahuan mengenai Filsafat Islam.
            Dengan kemampuan yang penulis miliki tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang kontruktif bagi kami, terutama dari teman-teman mahasiswa dan bapak dosen pengampu khususnya. dan sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih.


























Daftar Pustaka

1.    Poerwantana Dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991
2.    Fakhry Majid, Sejarah Filsafat Islam. Mizan, Bandung, 2001
3.    Naiati M Ustman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Musli,. Pustaka Hidayah Bandung, 2002
4.    http://faridfann.wordpress.com, /2014/10/02, 17:14, biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa
5.    http://nuryandi-cakrawalailmupengetahuan.blogspot.com, /2014/10, 17:14, tokoh-filsafat-islam.





                [1] http://faridfann.wordpress.com, /2014/10/02, 17:14, biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa.
[2] http://nuryandi-cakrawalailmupengetahuan.blogspot.com, /2014/10, 17:14, tokoh-filsafat-islam.
                [3] Poerwantana Dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991), hal. 94
                [4] M Ustman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, (Pustaka Hidayah Bandung, 2002), hal. 89
                      [5] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam,( Mizan, Bandung, 2001), hal. 61
[6] M Ustman, Op, Cit, hal. 105
[7] Majid, Op, Cit, hal. 76
[8] Poerwantana, Op, Cit, hal. 112
[9] M Ustman, Op, Cit, hal. 137
[10] M Ustman, Op, Cit, hal. 138