“Filsafat Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali”
Disusun
Oleh:
Ihsan
Yahya
NIM:
06.121.13
Dosen
Pembimbing:
Abdul Basit, M.Ed
PRODI
BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KERINCI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pemikiran klasik, Filsafat merupakan induk segala
Ilmu pengetahuan. Darinya segala jenis Ilmu berasal. Konsep ini berasal dari
pemikiran Yunani, terutama dari Aristoteles dan kemudian mempengaruhi para
pemikir Islam, termasuk pemikiran Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghozali.
Dalam sejarah pemikiran filsafat Islam dunia timur, sosok
Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghozali diantara para filosof Muslim, mereka
mendapat tempat istimewa hingga abad-abad modern ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi
dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali?
2.
Apa saja karya dari
Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali?
3.
Bagaimana pemikiran
filsafat dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
biografi dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali.
2.
Untuk mengetahui apa
saja karya-karya filsafat dari dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali.
3.
Untuk mengetahui
pemikiran filsafat dari dari Ikhwan Al Shafa, Ibnu Sina dan Al Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ikhwan Al Shafa
1.
Latar Belakang dan
Keanggotaan Ikhwan Al Shafa
Ikhwan Al Shafa
adalah nama sekelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte
Syi’ah Isma’iliyah, lahir pada abad ke 4 H (10 M) di kota Basrah. Kelompok ini
juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl Al-Adl, dan Abna’ al-Hamd. Rahasia
kelompok ini terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad pada
tahun 983 M. Salah satu ajaran Ikwan Al-Shafa adalah paham taqiyah
(menyembunyikan keyakinan), ini disebabkan oleh basis kegiatannya yang berada
ditengah masyarakat sunni yang merupakan lawan ideologi, kerahasiaan kelompok
ini juga disebabkan oleh dukungan mereka terhadap mu’tazilah yang telah
dihapuskan dari madzhab Negara oleh khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (sekte
sunni).
Tokoh terkemuka
kelompok ini adalah Ahmad Ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr
al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid Ibnu Rifa’ah selaku
ketua dan Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany.
2.
Karyanya
Pertemuan-pertemuan
yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid ibn Rifa’ah (ketua) secara
sembunyi-sembunyi telah menghasilkan 52 risalah. Risalah tersebut diklasifikasikan
menjadi empat bidang :
a.
14 risalah tentang
matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal dan
logika.
b.
17 risalah tentang
fisika dan ilmu alam, yang mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup dan
matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan
kesadaran.
c.
10 risalah tentang
ilmu jiwa, mencakup metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam
d.
11 risalah tentang
ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan
Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk
konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat .
3.
Filsafatnya
a.
Talfiq
Ikhwan Al Shafa
berusaha merekonsiliasi filsafat dengan agama yang ada waktu itu seperti Islam,
Kristen, Majusi, Yahudi dll. Menurut mereka bila dipertemukan antara filsafat
yunani dan syari’ah arab, akan menghasilkan formulasi yang sempurna. Menurut
mereka tujuan agama sama, mendekatkan diri kepada tuhan. Implikasinya akan
melahirkan At-Talfiq (elektik), yang berisi semua pemikiran yang berkembang
pada waktu itu. Sementara sumber ajarannya ialah Nuh, Ibrahim, Socrates, Plato,
Zoroaster, Isa, Muhammad, dan Ali. Tapi hal ini merupakan keinginan yang tidak
pernah terealisasi, karena mustahil menyatukan sifat heterogen manusia secara
utuh, kalaupun mungkin, tentu ada pemaksaan, dan tidak bertahan lama.
b.
Metafisika
Pengetahuan tentang
angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah, bila angka satu rusak, maka
rusaklah semua angka. Angka satu sebelum angka dua dan dalam angka dua
terkandung pengertian kesatuan. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang
dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian.
Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang
lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain .
Terlihat pengaruh
Neo-Pythagoreanisme yang dipadu filsafat keesaan Plotinus. Kesan tauhid dalam
filsafat mereka itulah yang menarik Al-Shafa mengambilnya sebagai argumen
tentang keesan Allah. Seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah, seperti
beradanya seluruh bilangan dalam bilangan satu. Berbeda dengan ilmu para
pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang satu, meliputi
seluruh bilangan.
c.
Emanasi
Ikhwan Al Shafa
merupakan perpaduan antara Aristoteles, Plotinus dan Mutakallimin. Tuhan adalah
pencipta dan mutlak esa. Rangkaian proses emanasi itu adalah :
-
Akal Pertama atau
Akal Aktif
-
Jiwa Universal
-
Materi Pertama
-
Potensi Jiwa
Universal
-
Materi Absolut atau
Materi Kedua
-
Alam Planet-planet
-
Anasir-anasir alam
terendah, yaitu air, udara, tanah dan api
-
Materi gabungan,
yang terdiri dari mineral, tumbuhan dan hewan
Ke-8
mahiyah di atas bersama dengan zat Allah yang mutlak, sempurnalah jumlah
bilangan menjadi 9. Angka 9 ini membentuk substansiorganik pada tubuh manusia,
yaitu tulang, sum-sum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut dan kuku.
d.
Matematika
Ikhwan Al-Shafa dipengaruhi oleh
pitagoras yang mengutamakan pembahasan tentang angka. Angka mempunyai arti
spekulatif yang dapat dijadikan dalil wujud sesuatu, oleh sebab itu ilmu hitung
merupakan ilmu paling mulia dibandingkan ilmu empirik karena tergolong ilmu
ketuhanan. Angka satu merupakan dasar segala wujud dan permulaan yang absolute.
Huruf hijaiyah yang jumlahnya ada 28 adalah hasil perkalian dari 4 x 7. Angka 7
mengandung nilai kesucian sedangkan angka 4 mempunyai arti empat penjuru angin.
e. Jiwa
Jiwa memiliki tiga
fakultas :
-
Jiwa tumbuhan,
dimiliki oleh semua makhluk hidup. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya yaitu makan,
tumbuh, dan reproduksi.
-
Jiwa hewan, dimiliki
oleh hewan dan manusia. Jiwa ini memiliki dua daya yaitu penggerak dan sensasi.
-
Jiwa manusia, yang
menyebabkan manusia berpikir dan berbicara.
f. Moral
Ikhwan Al Shafa bersifat
rasionalistis, suatu tindakan harus berlangsung bebas. Dalam mencapainya
seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan pada materi. Percaya tanpa
usaha, mengetahui tanpa berbuat atau sia-sia, kesabaran dan ketabahan,
kelembutan dan kehalusan kasih sayang, keadilan rasa syukur, mengutamakan
kebijakan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi
karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan,
kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan.
B. Ibnu Sina
1.
Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein
ibn Abdillah ibn Hasan ibn Sina. Dikenal sebagai seorang filosof Islam terbesar
bergelar Syaikh ar-Ra’is. Lahir dalam keluarga bermazhab Syi’ah tahun 370 H/
980 M, di desa Efyanah (Kawasan Bukhara). Di Bukhara, ia dibesarkan dan belajar
falsafah, kedokteran, dan ilmu-ilmu agama Islam. Di usia 10 tahun, Ia
mempelajari Islam dan menghafal al-Qur’an.
Ibnu Sina juga mempelajari
astronomi, matematika, fisika, metafisika, logika, dan kedokteran. Usia 16
tahun, ia dikenal sebagai dokter ahli berbagai penyakit. Usia 18 tahun, ia
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti falsafah, matematika,
logika, astronomi, musik, mistik, bahasa dan hukum Islam. Ia mampu meyembuhkan
penyakit yang diderita penguasa Bhukara, Nuh ibn Mansur (387 H/997 M), dan
diberi imbalan untuk memanfaatkan perpustakaannya. Usia 20 tahun, ayahnya
meninggal, ia pindah ke Jurjan dan bertemu Abu ‘Ubaid al-Juzajani kemudian
menjadi muridnya dan menulis sejarah hidupnya, pernah menjadi menteri di
Hamazan. Ia meninggal dunia pada hari Jum’at bulan Ramadhan dalam usia 58
tahun, dan dimakamkan di Hamazan.
2.
Karyanya
Karangan Ibnu Sina
yang terkenal ialah :
a.
Asy-Syifa. terdiri
dari 4 bab, logika, fisika, matematika, dan metafisika.
b.
An-Najat. ringkasan
as-Syifa, pernah diterbitkan bersama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran
pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
c.
Al-Isyarat
wat-Tanbihat. Pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892.
d.
Al-Hikmat
al-Masyriqiyyah. banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul
buku, dan naskahnya yang masih memuat logika.
e.
Al-Qanun fi al Tibb
(buku kedokteran ditulis 14 jilid, ditulis saat usia 16 tahun), atau Canon of
Medicine, pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku
standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad 17 Masehi .
3.
Filsafatnya
Merupakan gabungan tradisi
Aristotelian, pengaruh Neoplatonism dan teologi Islam.
a.
Al-Tawfiq/
Rekonsiliasi antara Agama dan Filsafat
Ibnu Sina memadukan agama dan filsafat.
Menurutnya Nabi dan
Filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang
juga disebut Akal kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya terletak pada cara
memperolehnya, bagi Nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal
materil yang disebut hads (kekuatan suci), sedangkan Filosof melalui akal
mustafad. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, berlainan dengan
pengetahuan yang diperoleh Filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya
tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina membedakan
antara para Nabi dan para Filosof, Nabi ialah manusia pilihan Allah dan tidak
ada peluang bagi manusia lain untuk jadi Nabi. Sementara Filosof adalah manusia
yang mempunyai intelektual tinggi dan tidak bisa jadi Nabi.
b.
Wujud
Dalam filsafat wujudnya, segala yang ada ia bagi pada 3 tingkatan:
-
Wajib Al-Wujud,
essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama. Essensi ini
tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib berwujud
selamanya.
-
Mumkin Al-Wujud,
essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak. Artinya, jika ia diandaikan
tidak ada atau ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak.
-
Mumtani’ Al-Wujud,
essensi yang tidak dapat mempunyai wujud.
c.
Emanansi atau
pancaran
Ketika Allah wujud sebagai
Akal langsung memikirkan terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya,
maka memancarkan Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini memancar Akal Kedua, Jiwa
Pertama, dan Langit Pertama, seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang lemah dan
tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan menghasilkan Jiwa kesepuluh,
bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air,
udara, api, dan tanah.
Akal pertama bersifat wajib wujudnya punya 3 objek pemikiran :
Tuhan, dirinya sebagai
wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Emanasi Ibnu Sina
menghasilkan 10 akal dan 9 planet. 9 akal mengurusi 9 planet dan akal ke-10
mengurusi bumi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama adalah Malaikat
Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril yang bertugas mengatur bumi dan
isinya.
d.
Jiwa
Jiwa manusia, sebagai jiwa
lain dan segala yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian: Tumbuhan, Binatang dan Manusia.
Manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari
badan. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan
badan, maka selamanya berada dalam kesenangan, dan jika berpisah dengan badan
dalam keadaan tidak sempurna, maka akan hidup dalam penyesalan dan terkutuk
selamanya di akhirat.
C. Al Ghozali
1.
Biografi
Nama lengkapnya Abu Hamid
bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah (Acuan) Al-Islam lahir di
Thus, bagian kota Khusaran, Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya orang yang
sederhana sebagai pemintal benang (ghazzal) sehinnga dijuluki al-Ghazzali,
karena mata pencaharian ayahnya. Sedangkan Al-Ghazali dengan satu z, diambil
dari kata Ghazalah, kampung kelahiran Al-Ghazali. Sebelum wafat, ayahnya
menitipkan Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad kepada ahli tasawuf untuk mendapatkan
didikan dan bimbingan.
Tahun 1095 Al Ghazali
mengalami krisis pribadi, kemudian keluar dari jabatan guru besar, sebagian
menyebutnya Rektor Universitas dan meninggalkan Baghdad, kemudian menjalani
hidup Sufi dan merantau ke Damaskus, Kairo, Mekah dan Madinah. Al Ghazali
dianggap para sarjana latin seperti AL Farabi dan Ibnu Sina sebagai filosof peri-patetik
dan Neo Platonis.
2.
Karyanya
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:
-
Maqashid-Al-Falasifah
(Tujuan Para Filsuf), berisi masalah filsafat.
-
Tahafut Al-Filasafah
(Kekacoan Pikiran Para Filsuf), di Bagdad tatkala jiwanya dilanda
keragu-raguan.
-
Mi’yar Al-‘Ilm
(Kriteria-Kriteria / Standar Keilmuan).
-
Ihya ‘Ulum Al-Din (Menghidupkan
Kembali Agama-Agama)
-
Al-Munqidz Min
Al-Dhalal (Penyelamatan dari Kesehatan)
-
Al-Ma’arif
Al-‘Aqliah (Pengatahuan Yang Rasional).
-
Misyakat Al-Anwar
(Lampu Yang Bersinar Banyak), berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
-
Minhaj Al-‘Abidin
(Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
-
Al-Iqtishad fi
al-‘Itiqad (moderasi dalam akidah).
-
Al-Mustadzhir
Qisthasul Mustaqim (Nerca Yang Lurus)
3.
Filsafatnya
a.
Epistimologi
Dalam bukunya Al-Munqidz
Min Al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran sejati, yaitu kebenaran yang
diyakininya betul-betul kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari
tiga. “sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh
dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang betul ia
laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan
saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”. Mulanya Al-Ghazali
beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal yang dapat yang ditangkap oleh
panca indera. Tetapi ternyata baginya panca indera juga berdusta. Misalnya:
“bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi berpindah tempat,” atau
seperti “bintang-bintang dilangit, kelihatannya kecil tetapi perhitungan
menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi”.
Karena tidak percaya panca
indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal
juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, menurut Al-Ghazali, orang melihat
hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa
yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar atau karena ia melihat bahwa
aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan
pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.
Seperti yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm al-yaqini yang
tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekuen
dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji pengetahuan
inderawi, ia menggunakan argumentasi faktual atas kelemahannya. Tetapi, ketika
membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia
menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja. Ketika itu, ia tidak berhasil
membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara
faktual.
Akhirnya Al-Ghazali
mengalami puncak kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya.
Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang
disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke dalam hatinya, sehingga
ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan apriori yang bersifat
aksiomatis. Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih
tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan tertinggi
tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan
pada manusia biasa berbentuk ilham.
Pengetahuan yang bersifat rabbaniyah
(ladunniyah) adalah tingkat tertinggi pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan
ibadah, kezuhudan, mujahadah (mendekatkan diri kepada Allah SWT), dan olah
batin (riyadhah an-nafs). Lapangan filsafat menurut Al-Ghazali ada enam yaitu:
matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika.
Logika menurut Al-Ghazali,
juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika berisi penyelidikan tentang
dalil-dalil pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian, definisi-definisi,
dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah menjadikan logika sebagai
pendahuluan dalam persoalan ketuhanan (metafisika), sedangkan sebenarnya tidak
demikian.
Al-Ghazali membagi filsuf menjadi tiga golongan :
-
Materialis
(dahriyyun)
Terdiri dari para filsuf
awal, seperti Emepodokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM), mereka
pencipta dan pengatur dunia, dan yakin bahwa dunia ini telah ada dengan
sendirinya sejak dahulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama.
-
Naturalis
(thabi’iyyun)
Terpesona oleh keajaiban
penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam
rencana segala sesuatunya, mengakui eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi
menyangkal kerohanian dan sifat immateriality jiwa manusia mereka menjelaskan
perihal jiwa dalam istilah naturalis sebagai suatu epifenomena jasad dan yakin
bahwa kematiaan jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.
-
Theis (ilahiyun)
Tergolong para filsuf
lebih modern, meski mereka menyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali
berpendapat kaum theis ini masih menyimpan sisa kekafiran dan paham bi’ah.
Sebab itu dia menilai mereka maupun para filsuf muslim yang mengikutinya
sebagai kaum kafir. Menurut pendapatnya diantara pengikut mereka, Al-Farabi dan
Ibn Sina adalah penerus terbaik filsafat Aristoteles ke dalam dunia islam.
b.
Metafisika
Al-Ghazali memberikan
reaksi keras terhadap Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti
halnya dalam logika dan matematika. Al-Ghazali mengecam dua tokoh
Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka.
Dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan islam
dan mengabaikan dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak
berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak
dua puluh persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang
fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida’
sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran
mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua
kaum muslim.
Dua puluh persoalan tersebut adalah:
-
Alam qadim (tidak
bermula).
-
Keabadian (abadiah)
alam, masa, dan gerak.
-
Konsep tuhan sebagai
pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya, ungkapan ini bersifat
metaforis.
-
Demonstrasi/
pembuktian eksistensi penciptaan alam.
-
Penolakan akan
sifat-sifat tuhan.
-
Argumen rasional
bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud.
-
Kemustahilan konsep
genus (jins) kepada Tuhan.
-
Wujud tuhan adalah
wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau essensi.
-
Argumen rasional
tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
-
Argumen rasional
bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
-
Pengetahuan tuhan
tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara universal.
-
Pembuktian bahwa
tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
-
Tuhan tidak
mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
-
Langit adalah
makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
-
Tujuan yang
menggerakkan langit.
-
Jiwa-jiwa langit
mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah).
-
Kemustahilan
perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
-
Jiwa manusia adalah
subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak
terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
-
Jiwa manusia setelah
terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi
kita membayangakan kehancurannya.
-
Penolakan terhadap
kebangkitan jasmani.
Tiga persoalan yang menyebabkan para
filsuf dipandang kafir adalah:
-
Alam kekal (qadim)
atau abadi dalam arti tidak berawal.
-
Tuhan tidak
mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di
dalam.
-
Pengingkaran
terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.
Dalam
persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali, setidaknya
ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa ia sesungguhnya hanya
menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn Sina dan tidak
menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab Al-Ghazali tetap
mengakui pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran ajaran-ajaran
agama. Kedua: dalam bukunya Al-Ghazali menilai Al-Farabi dan Ibn Sina serta
filsuf yang lainnya telah kufur karena mengajarkan tentang keqodiman alam,
kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan tuhan terhadap hal-hal yang partikular.
Ketiga: tentang pembagian filsafat yunani dalam tiga bagian materalisme
(Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun), dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul
Al-Farabi adalah Aristoteles tapi ia hanya mengambil dan mengembangkan aspek
logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani.
c.
Moral
Al-Ghazali menegaskan
bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih dari pada kebodohan. Akhlak
yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis (ada tujuannya), sebab ia
menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Suatu derat baik atau buruk
berbagai amal berbada oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh yang
ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Masalah kebahagian,
menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan manusia adalah kebahagian
ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni :
-
Berkelanjutan tanpa
akhir
-
Kegembiraan tanpa
dukacita
-
Pengetahuan tanpa
kebodohan
-
Kecukupan (ghina),
yang tak membutuhkan apa-apa lagi
d.
Jiwa
Manusia diciptakan Allah menurut Al-Ghazali sebagai makhluk yang terdiri dari
jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk spiritual
rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah yang
digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali
merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah
yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada didalam
spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali, berasal sama
dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Disamping itu jiwa mempunyai
kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia,
dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan dalam kehidupan manusia.
Mengenai kekekalan jiwa
Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa
(al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya. Disini Al-Ghazali berada
dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan hancurnya jiwa
apabiala dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat
substanai kekal). Dengan demikin bantahan Al-Ghzali terhadap filsuf dalam
bukunya Tahafut al-Falasafah, bukan ditekankan pada kekalnya jiwa, yang
dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk memebuktikan
jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan al-ma’ad
(kehidupan di akhirat).
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa
diberi jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi hidup
kekal. Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa dan
jasad merupakan wujud yang berbeda tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan
jalannya masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan
menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan
itu dilakukan secara sadar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa’
(Persaudaraan Suci) adalah nama kelompok pemikir Islam yang bergerak secara
rahasia dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M) di
Basrah. Karyanya berjumlah 52 risalah yang diklasifikasikan dalam empat bidang
yaitu : 14 risalah tentang matematika, 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam,
10 risalah tentang ilmu jiwa, 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan. Filsafat
Ikhwan al-Shafa mencakup : Tawfiq dan At-Talfiq, Metafisika, Emanasi (al-Faidh),
Matematika, Jiwa dan moral.
Nama lengkap Ibnu Sina
adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn Hasan ibn Sina. Dilahirkan dalam
keluarga bermazhab Syi’ah tahun 370 H/ 980 M, di desa Efyanah (Kawasan
Bukhara). Ia meninggal dunia pada hari Jum’at bulan Ramadhan dalam usia 58
tahun, dan dikuburkan di Hamazan. Karangan Ibnu Sina diantaranya ialah:
Asy-Syifa, An-Najat, Al-Isyarat wat-Tanbikat dan Al-Qanun. Filsafat Ibnu Sina :
Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat, Filsafat Wujud (Wajib
Al-Wujud, Mumkin Al-Wujud, Mumtani’ Al-Wujud), Filsafat Emanansi atau pancaran
dan Filsafat Jiwa.
Nama lengkap Al Ghazali
adalah Abu Hamid bin Muhamnmad al-Ghazali. Beliau lahir di Ghazela, Thus
(Khurasan) pada tahun 450 H (1059 M) dan wafat di Tabristan, Tus tanggal 14
Jumadil Akhir 505 H (1 Desember 1111 M). Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai
300 buah, diantaranya adalah: Maqashid-Al-Falasifah, Tahafut Al-Filasafah,
Mi’yar Al-‘Ilm, Ihya ‘Ulum Al-Din, Al-Munqidz Min Al-Dhalal, Al-Ma’arif
Al-‘Aqliah, Misyakat Al-Anwar, Minhaj Al-‘Abidin, Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad,
Al-Mustadzhir Qisthasul Mustaqim. Filsafat al-Ghazali : Epistimologi,
Metafisika, Moral dan Jiwa.
B.
Saran
Alhamdulillah, tiada
harapan dan upaya sedikitpun dari kami kecuali makalah ini dapat bermanfa’at
bagi segenap pembaca, dan dapat menambah sedikit pengetahuan mengenai Filsafat
Islam.
Dengan kemampuan yang
penulis miliki tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah
ini. Untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang kontruktif bagi kami,
terutama dari teman-teman mahasiswa dan bapak dosen pengampu khususnya. dan
sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih.
Daftar Pustaka
1.
Poerwantana Dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1991
2.
Fakhry Majid, Sejarah Filsafat Islam. Mizan, Bandung,
2001
3.
Naiati M Ustman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Musli,.
Pustaka Hidayah Bandung, 2002
4.
http://faridfann.wordpress.com,
/2014/10/02, 17:14, biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa
5.
http://nuryandi-cakrawalailmupengetahuan.blogspot.com,
/2014/10, 17:14, tokoh-filsafat-islam.
http://faridfann.wordpress.com,
/2014/10/02, 17:14, biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa.
Poerwantana Dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1991), hal. 94
M Ustman, Jiwa dalam Pandangan Para
Filosof Muslim, (Pustaka Hidayah Bandung, 2002), hal. 89
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam,( Mizan, Bandung,
2001), hal. 61