PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi dan mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan
tasauwufakhlaqi, tasauf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Terminologi falsafitersebut berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang
telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf
ada beberapa aliran, seperti tasawuf Akhlaqi, tasawuf Sunni dan tasawuf
Falsafi. Adapula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf 'Amali, tasawuf Falsafi
dan tasawuf 'Ilmi. Akan tetapi dalam makalah kecil ini hanya akan dibahas
secara lebih fokus tentang tasawuf Falsafi saja.
Secara
garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran
filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Tasauf Falsafi, Ibn ‘Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf
akhlaki, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi
tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para
tokohnya.
Menurut At-Taftazani,
tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad
keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak
saat itu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutama di kalangan
para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[1]
Adanya pemaduan
antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini dengan sendirinya telah
membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasranii. Akan
tetapi, orisianilitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun
mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam,
seiring dengan ekspansi islam, yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila
dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat islam. Sikap ini dengna sendirinya
dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu ingin
mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam tersebut ke
dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat,
tetapi maknanya tetap disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[2]
Masih menurut At-Taftazani,
ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya
istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran
tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat
karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di kategorikan sebagai tasawuf dalam
pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa
filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Para sufi yang
juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat yunani serta
berbagai aliran seperti Socrates, Plato, Aristoteles, alira Stoa, dan aliran Neo-Platonisme,
dengan filsafatnya tentang emanasi.
Bahkan, mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut Hermenetisme yang karya-karyanya banyak
di terjemahkan ke dalam bahasa arab dan filsafat-filsafat timur kuno, baik dari
Persia maupun India, serta filsafat-filsafat Islam, seperti yang diajarkan oleh
Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran batiniah sekte Isma'iliyyah aliran Syi’ah dan
risalah-risalah Ikhwan Al-shafa’.[3]
Di antar
tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah ibnu arabi, al-jilli, dan ibn sab’in.
1. Ibn
‘Arabi
a. Biografi
Singkat Ibn’arabi
Nama
lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami.
Ia lahir di Mercia, Andalusia tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga
berpangkat, hartawan dan ilmuan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal
di sana pada tahun 638 H. Namaya biasa di sebut tanpa Al untuk membedakan
dengan abu bakar tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu bakar Ibn Al-‘Arabi
seorang qadhi dari Sevilla yang wafat
tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadis serta fiqih
pada sejumlah murid andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Ai-Zhahiri.[4]
b. Ajaran-ajaran
Tasawuf Ibn’Arabi
Ajaran
sentral Ibn ‘Ibn Arabi adalah tentang wahdat
Al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang di pakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu,
tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling
keras dalam mengecam dan mengkritik
ajaran sentralnya tersebut. Sedidak-tidaknya, Ibnu Taimiyalah yang telah
berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al
Wujud ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun
semua orang sepakat menggunakan istilah Wahdat
Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat
dalam memformulasikan pengertian Wahdat Al-wujud.[5]
Menurut
ibnu taimiyah Wahdat Al-wujud adalah
penyamaan tuhan dengan alam menurut penjelasannya, orang yang mempunyai paham Wahdat Al-wujud mengatakan bahwa wujud
itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud
yang di miliki oleh khaliq juga mukmin
Al-wujud yang di miliki oleh makhluk, selain itu, orang-orang yang
mempunyai paham wahdat Al-wujud itu
juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada perbedaan.[6]
Dari
pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn ‘Arabi dari
aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq
dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian khaliq). Padahal kedua aspek itu terdapat
dalam ajaran Ibn ‘Arabi akan tetapi , perlu pula di dasari bahwa kata-kata Ibn
‘Arabi. Banyak membawa pada pengertian seperti yang di pahami oleh Ibn Taimiyah
meskipun ada pula kata-kata Ibn ‘Arabi
yang membedakan antara Khalik dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam.
Demi
syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba,
padahal dia (pada hakikatnya) tuhan juga. Atau engkau katakan tuhan, lalu siapa
yang di bebani talif?” Kalau di antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya,
megapa terlihat dua? Ibn ‘Arabi menjawab, sebab adalah manusia tidak
memandangnya darisisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan
bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi lain.
Jika mereka merasa memandang keduanya dari sisi yang satu, mereka pasti akan
dapat mengetahui hakikat keduannya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan
berpisah.
2. Al-Jilli
a. Biografi
Singkat Al-Jilli
Nama
lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M.
Di Jilan (gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan kasfia dan wafat pada
tahun 1417 M. Nama Al-Jilli di ambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia
adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak
diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia
pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf di
bawah bimbingan Abdul Qadir al-jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat
Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada syekh
syafaruddin Isma’il bin Ibrahim AL-jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403
M.[7]
b. Ajaran
Tasawuf Al-Jilli
Ajaran
tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna)
menurut Al-Jilli insan kamil adalah nuskhah
atau copy tuhan, seperti di sebutkan
dalam hadis Artinya: Allah menciptakan
adam dalam bentuk yang maharahman “ Hadis lain: Artinya “Allah menciptakan adam dalam bentuk dirinya”[8]
Tuhan memiliki sifat-sifat, seperti hidup, pandai,
mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki
sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi selanjutnya adalah setelah tuhan
menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah adam, aniyahnya di sandingkan dengan aniyah
adam, dan dzatnya dihadapkan pada zat adam, dan akhirnya adam berhadapan dengan
tuhan dalam segala hakikatnya. Melalui konsep ini, dapat dipahami bahwa adam
dilihat dari segi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan
segala kesempurnaannya sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiah.
3. Ibnu
Sab’in
a. Biografi
Singkat Ibn Sab’in
Nama
lengkapnya adalah Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhammad bin Nashr,
seorang sufi yang jufa filosof dari Andalusia. Dia terkenal di Eropa karena
jawaban-jawabannya atas pernyataan federik II, penguasa Sicilia. Dia dipanggil Ibn
Sab’in dan digelari Quthbuddin. Terkadang, dikenal pula dengan Abu Muhammad. dan
dilahirkan tahun 614 H (1217/1218M) di kawasan Murcia. Dia mempelajari bahasa
arab dan sastra pada kelompok gurunya. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari
madzhab maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat.[9]
Dia mengemukakan bahwa di antara guru-gurunya adalah ibn dihaq, yang di kenal
dengan ilmu al-mir’ah (meniggal tahun 611 H) yang keduanya ahli tentang huruf
dan nama. Menurut salah seorang murid ibn sabi’in, yang mansyarah kitab risalah
al-‘abd hubungan antara ibn sabi’in dan gurunya tersebut lebih banyak terjalin lewat
kitab dari pada langsung
b. Ajaran
Tasawuf Ibn Sab’in
Ibn
Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis,
yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana
saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud-wujud lainnya
hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu
hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu semata. Dengan
demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap. [10]
Paham ini lebih di kenal dengan sebutan paham kesatuan
mutlak. Hal ini karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi
ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam satu
bentuk. Dalam paham ini, ibn Sab’in
menempatkan ketuhanan pada tempat pertama, wujud allah, menurutnya adalah asal
segala yang ada pada masa lalu, masa kini dan masa depan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasauf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut
berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya.
Tasawuf
Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi,
bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi
dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf
filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
B.
SARAN
Diharapkan
kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih
sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan, untuk memotivasi penulis,
agar dalam penyelesaian makalah ini bisa memperbaiki diri dari kesalahan, atas
partisipasinya kami ucapkan terima kasih.
Daftar
Pustaka
Mukhtar Solihin dan
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2000.
At-Taftazani Al-ghanimi
Al-wafa’ Abu, Sufi dari Zaman ke Zaman,
Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka Bandung, 1985.
[1] Rosihon Anwar
dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (
Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), Hal. 143
[3] Ibid, hal. 144
[4] Abu Al-wafa’
Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman
ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, (Pustaka Bandung, 1985) hal. 187
[5] Rosihon dan
Mukhtar, Op, Cit, hal. 145
[6] Rosihon dan
Mukhtar, Op, Cit, hal. 146
[7] Rosihon dan
Mukhtar, Op.Cit, hal. 153
[8] Rosihon dan
Mukhtar, Op.Cit, hal. 154
[9] Rosihon dan Mukhtar,
Op.Cit, hal. 159
[10] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit,
hal. 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar