Rabu, 25 Maret 2015

makalah tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi dan mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasauwufakhlaqi, tasauf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafitersebut berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf ada beberapa aliran, seperti tasawuf Akhlaqi, tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi. Adapula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf 'Amali, tasawuf Falsafi dan tasawuf 'Ilmi. Akan tetapi dalam makalah kecil ini hanya akan dibahas secara lebih fokus tentang tasawuf Falsafi saja.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Tasauf Falsafi, Ibn ‘Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tasawuf  Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[1]
Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasranii. Akan tetapi, orisianilitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi islam, yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat islam. Sikap ini dengna sendirinya dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu ingin mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya tetap disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[2]
Masih menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di kategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat yunani serta berbagai aliran seperti Socrates, Plato, Aristoteles, alira Stoa, dan aliran Neo-Platonisme, dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan, mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut Hermenetisme yang karya-karyanya banyak di terjemahkan ke dalam bahasa arab dan filsafat-filsafat timur kuno, baik dari Persia maupun India, serta filsafat-filsafat Islam, seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran batiniah sekte Isma'iliyyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Al-shafa’.[3]
Di antar tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah ibnu arabi, al-jilli, dan ibn sab’in.
1.      Ibn ‘Arabi
a.       Biografi Singkat Ibn’arabi
Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Mercia, Andalusia tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal di sana pada tahun 638 H. Namaya biasa di sebut tanpa Al untuk membedakan dengan abu bakar tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu bakar Ibn Al-‘Arabi seorang qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadis serta fiqih pada sejumlah murid andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Ai-Zhahiri.[4]
b.      Ajaran-ajaran Tasawuf Ibn’Arabi
Ajaran sentral Ibn ‘Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat Al-wujud yang di pakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik  ajaran sentralnya tersebut. Sedidak-tidaknya, Ibnu Taimiyalah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al Wujud ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian Wahdat Al-wujud.[5]
Menurut ibnu taimiyah Wahdat Al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam menurut penjelasannya, orang yang mempunyai paham Wahdat Al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang di miliki oleh khaliq juga mukmin Al-wujud yang di miliki oleh makhluk, selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada perbedaan.[6]
Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn ‘Arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian khaliq). Padahal kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibn ‘Arabi akan tetapi , perlu pula di dasari bahwa kata-kata Ibn ‘Arabi. Banyak membawa pada pengertian seperti yang di pahami oleh Ibn Taimiyah meskipun ada pula  kata-kata Ibn ‘Arabi yang membedakan antara Khalik dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam. 
Demi syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) tuhan juga. Atau engkau katakan tuhan, lalu siapa yang di bebani talif?” Kalau di antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya, megapa terlihat dua? Ibn ‘Arabi menjawab, sebab adalah manusia tidak memandangnya darisisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi lain. Jika mereka merasa memandang keduanya dari sisi yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduannya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
2.      Al-Jilli
a.       Biografi Singkat Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. Di Jilan (gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-Jilli di ambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir al-jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada syekh syafaruddin Isma’il bin Ibrahim AL-jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[7]
b.      Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna) menurut Al-Jilli insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan, seperti di sebutkan dalam hadis Artinya: Allah menciptakan adam dalam bentuk yang maharahman “ Hadis lain: Artinya “Allah menciptakan adam dalam bentuk dirinya[8]
Tuhan memiliki sifat-sifat, seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi selanjutnya adalah setelah tuhan menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah adam, aniyahnya di sandingkan dengan aniyah adam, dan dzatnya dihadapkan pada zat adam, dan akhirnya adam berhadapan dengan tuhan dalam segala hakikatnya. Melalui konsep ini, dapat dipahami bahwa adam dilihat dari segi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiah.
3.      Ibnu Sab’in
a.       Biografi Singkat Ibn Sab’in
Nama lengkapnya adalah Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhammad bin Nashr, seorang sufi yang jufa filosof dari Andalusia. Dia terkenal di Eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan federik II, penguasa Sicilia. Dia dipanggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin. Terkadang,  dikenal pula dengan Abu Muhammad. dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218M) di kawasan Murcia. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra pada kelompok gurunya. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari madzhab maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat.[9] Dia mengemukakan bahwa di antara guru-gurunya adalah ibn dihaq, yang di kenal dengan ilmu al-mir’ah (meniggal tahun 611 H) yang keduanya ahli tentang huruf dan nama. Menurut salah seorang murid ibn sabi’in, yang mansyarah kitab risalah al-‘abd hubungan antara ibn sabi’in dan gurunya tersebut lebih banyak terjalin lewat kitab dari pada langsung
b.      Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in
Ibn Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud-wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu semata. Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap. [10]
Paham ini lebih di kenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Hal ini karena paham ini berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam satu bentuk. Dalam paham ini, ibn  Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama, wujud allah, menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini dan masa depan.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tasauf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermcam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

B.     SARAN
Diharapkan kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan, untuk memotivasi penulis, agar dalam penyelesaian makalah ini bisa memperbaiki diri dari kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.






Daftar Pustaka

Mukhtar Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
At-Taftazani Al-ghanimi Al-wafa’ Abu, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka Bandung, 1985.




[1] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), Hal. 143
[2]  Ibid, hal. 143
[3] Ibid, hal. 144
[4] Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i ustmani, (Pustaka Bandung, 1985) hal. 187
[5] Rosihon dan Mukhtar, Op, Cit, hal. 145
[6] Rosihon dan Mukhtar, Op, Cit, hal. 146
[7] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit, hal. 153
[8] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit, hal. 154
[9] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit, hal. 159
[10] Rosihon dan Mukhtar, Op.Cit, hal. 160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar